Ubah Kata – Kamu masih bingung dengan istilah research gap? Bagaimana jenis-jenisnya? Tenang, artikel ini akan menjelaskan 7 jenis research gap yang sering digunakan oleh peneliti.
Mungkin bagi peneliti yang sering melakukan penelitian tidak asing dengan istilah research gap. Pasalnya, research gap ini merupakan salah satu kunci dari keberhasilan sebuah penelitian.
Namun, beberapa peneliti baru sering kebingungan dalam menentukan research gap dalam penelitian mereka. Hal ini tidak luput dari pengetahuan terkait jenis-jenis dari research gap. Bahkan tidak jarang ketika penguji hasil penelitian akan selalu menanyakan tentang pembeda penelitian sekarang dengan terdahulu.
Maka dari itu, mengetahui jenis-jenis research gap merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh seorang peneliti. Berikut penjelasan dari 7 jenis research gap yang sering digunakan oleh peneliti.
Apa itu Research Gap?
Istilah “research gap” digunakan untuk mengacu pada area atau topik penelitian yang belum dipelajari dengan baik atau masih kurang dipahami di dalam literatur akademis yang ada saat ini.
Dengan kata lain, penggunaan istilah ini mencerminkan kekosongan dalam literatur yang dapat dijadikan landasan dasar untuk penelitian lebih lanjut.
Research gap sering kali digunakan sebagai poin awal dalam perencanaan tujuan penelitian terbaru, di antara lain, mengidentifikasi kontribusi unik yang dapat dibuat oleh suatu penelitian terhadap pengembangan pengetahuan yang ada dalam topik tertentu.
Baca juga : Temukan Research Gap dalam Penelitian dengan AI
7 Jenis Research Gap
Tulisan ini dibuat melalui metode netnografi. Dimana sumber data diperoleh melalui akun YouTube Ensiklopedia Ahmad Fauzi. Di dalam salah satu kontennya yang berjudul “Macam-macam Research Gap, State-of-the-Art,dan Novelty dalam Penelitian Ilmiah: Wajib Ada di Jurnal”, Fauzi (2024) menerangkan 7 jenis research gap yang sering digunakan oleh peneliti.
a. Knowledge Gap (Celah Pengetahuan)
Umumnya, jenis gap ini dilakukan untuk ketika ada kekurangan pemahaman atau informasi mengenai suatu bidang atau subjek. Artinya, penelitian yang ada belum cukup mendalam atau menyeluruh. Atau bahkan, belum terdapat penelitian yang mengkaji suatu topik tertentu sehingga menyebabkan pengetahuan yang diinginkan itu belum ada (Fauzi, 2024).
Contoh: Analisis keragaman genetik P. Lunatus di Indonesia masih jarang dilakukan. Sebenarnya, di beberapa bagian dunia, jenis analisis semacam itu dipublikasikan secara intensif, seperti di Amerika Utara (Serrano-serrano dkk., 2010), Amerika Tengan (Camacho-Pérez dkk., 2018), dan Amerika Selatan (Silva dkk., 2019). Di satu sisi, di Indonesia, penelitian tentang P. Lunatus masih terbatas pada potensi sumber makanan alternatif (Diniyah dkk., 2013; Herry dkk., 2014) beserta zat-zat esensialnya (Diniyah dkk., 2015; Praseptianga dkk., 2018; Sukatiningsih dkk., 2013; Tejasari, 2016). Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada keanekaragaman genetik P.Lunatus berdasarkan penanda RAPD.
b. Practical Gap (Celah Pengetahuan Praktis)
Jenis gap ini digunakan ketika terdapat kekurangan dalam aplikasi praktis atau penerapan hasil penelitian di dunia nyata. Artinya, kurangnya panduan atau rekomendasi yang bisa digunakan oleh praktisi.
Selain itu, pekerjaan yang dilakukan oleh praktisi atau profesional tidak sejalan dengan apa yang penelitian katakan sebagai yang terbaik, atau hal tersebut masih belum diteliti oleh peneliti (Fauzi, 2024).
Contoh: Penelitian tentang berpikir kritis kepada siswa sudah banyak dilakukan (Ellerton dkk., 2022; Mahdi dkk., 2020; Moghadam dkk., 2023; Okolie dkk., 2022; Sabet dkk., 2017). Selain itu, praktek pengajaran berpikir kritis pada aspek analisa berita juga dilakukan oleh sejumlah peneliti (Afrilyasanti dkk., 2023; Berry & Rosenbaum, 2022; Kiki, 2019; Machete & Turpin, 2020). Namun dalam konteks pengajaran berpikir kritis untuk siswa akan membuat guru sedikit tertantang (Li,Q., 2021).
Selanjutnya, observasi terbatas yang dilakukan peneliti di salah satu SMA di Indonesia, menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam membedakan berita/informasi faktual dan palsu yang ditemukan dalam teks, seperti menganalisis teks, menemukan bias dalam teks, membuat kesimpulan, dan membedakan berita faktual dan palsu.
Permasalahan ini terlihat ketika guru memberikan pertanyaan tentang berita “apa bedanya masalah fakta dan berita bohong? poin sentral apa yang ingin disampaikan oleh penulis atau pembicara? dan siapa yang dapat memperoleh manfaat dari pesan ini?” kepada siswa yang membutuhkan keterampilan berpikir analitis mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 36 siswa yang dapat menggunakan kemampuan berpikir analitisnya.
Selain itu wawancara juga dilakukan kepada siswa. Dari wawancara tersebut, siswa mengaku tidak mendapatkan pembelajaran apapun tentang bagaimana menangani teks secara kritis.
Konsekuensinya, permasalahan tersebut akan semakin parah jika siswa tidak diajarkan membaca teks secara aktif dan komprehensif.
Untuk menghadapi fenomena tersebut, peneliti mengusulkan konsep pembelajaran tentang berpikir kritis untuk mengajarkan siswa dalam membedakan berita faktual dan palsu; sehingga, pelajar tidak mudah terpapar berita bohong yang dapat menyesatkan mereka.
c. Evidence Gap (Celah Bukti)
Evidence gap merupakan celah penelitian ketika terdapat kekurangan atau ketidakhadiran bukti empiris mengenai topik atau fenomena tertentu. Selain itu, jenis gap ini terjadi karena ada hasil penelitian satu dengan lainnya yang tidak sejalan atau tidak konsisten.
Contoh: Penelitian tentang penggunaan aplikasi TikTok memiliki pandangan yang berbeda dari satu penelitian dengan penelitian yang lain. Misalnya, aplikasi ini dianggap menuai sisi aspek negatif dengan konten yang kurang layak untuk dikonsumsi (Rosdiana & Nurnazmi, 2021). Di sisi lain, aplikasi TikTok digunakan sebagai media untuk kreativitas remaja (Prianbodo, 2018). Maka dari itu, penelitian ini akan menggambarkan bagaimana aspek penggunaan aplikasi TikTok sebagai media eksistensi diri bagi kaum pelajar Indonesia dengan teori interaksionalisme simbolik dari Mead (1934).
d. Empirical Gap (Celah Empiris)
Empirical gap terjadi ketika belum adanya percobaan atau pengamatan yang dilakukan guna membuktikan secara nyata terhadap sebuah temuan atau teori.
Contoh: Think Pair Share (TPS) dan Problem Based Learning (PBL) adalah dua contoh metode belajar kelompok yang sering dinilai manfaatnya dalam pembelajaran. Penelitian sebelumnya telah melaporkan manfaat penggunaan TPS untuk berbagai keterampilan berpikir siswa (Ngozi, 2009), sementara beberapa laporan lain juga membahas manfaat penggunaal PBL untuk berbagai kompetensi (Bertacchini De Oliveira dkk., 2016; Ramdiah, 2017; Sastrawati, Rusdi, & Syamsurizal, 2011; Talah & Chaudhry, 2014; Yaqinuddin, 2013). Namun, penelitian yang mengkaji efek penerapan TPS atau PBL terhadap kemampuan analitis siswa masih sulit ditemukan, terutama di Indonesia.
e. Methodological Gap (Celah Metodologis)
Methodological Gap merupakan kekurangan atau kelemahan dalam metode penelitian yang digunakan sebelumnya.
Jenis gap ini juga terjadi ketika penelitian-penelitian sebelumnya masih memiliki keterbatasan sehingga harus diperbaharui atau divariasikan. Ini bisa melibatkan pendekatan, desain, alat, atau teknik penelitian.
Contoh: Beberapa penelitian di Amerika Serikat telah meninjau kurikulum sains dari pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan tinggi (Lonto dkk., 2015). Beberapa peneliti lain menekankan pentingnya pendidikan genetika dalam pendidikan keperawatan (Camak, 2016; Giarelli & Reiff, 2012). Seiring dengan penelitian ini, peneliti lain juga telah mengembangkan berbagai instrumen penilaian literasi genetika, seperti instrumen penilaian literasi genetika untuk mahasiswa tingkat sarjana (Bowling dkk., 2008), Survei literasi dan sikap genetika (Chapman, 2017), dan pemahaman publik dan sikap terhadap genetika dan genomika (Condit, 2010). Menariknya, sejalan dengan penelitian yang meninjau dan menekankan urgensi pendidikan genetika, instrumen-instrumen literasi ini lebih fokus pada pengukuran literasi dan pemahaman responden tentang konsep dasar genetika, meskipun beberapa di antaranya terkait dengan penyakit dan pengujian genetika. Selain itu, penelitian yang mengevaluasi literasi COVID-19 juga sangat jarang. Sampai saat ini, hanya ada 1 penelitian yang mengeksplorasi literasi COVID-19 pada mahasiswa Indonesia (Fauzi dkk., 2020), dan penelitian yang fokus pada evaluasi instrumen COVID-19 masih terbatas pada kuesioner KAP (Saefi dkk., 2020). Karena kesulitan dalam menemukan instrumen yang mampu mengevaluasi literasi genetika berdasarkan fenomena kontekstual selama pandemi COVID-19, studi ini bermaksud untuk mengembangkan dan mengevaluasi instrumen untuk menilai literasi genetika COVID-19.
f. Population Gap (Celah Populasi)
Population gap terjadi ketika penelitian yang ada mungkin tidak mencakup semua populasi yang relevan, seperti kelompok umur, gender, etnis, atau wilayah geografis tertentu.
Contoh: Hingga saat ini, hingga 5 Juli 2020, hasil pencarian melalui mesin pencari Google menyatakan bahwa hanya 22 survei KAP yang telah dipublikasikan dalam jurnal Internasional. Dari survei tersebut, hanya tinga publikasi melibatkan mahasiswa kedokteran sebagai subjek penelitian (Alzoubi dkk., 2020; Hamza dkk., 2020; Maheshwari dkk., 2020). Survei KAP terhadap COVID-19 juga telah dilakukan dua kali di Indonesia. Namun, satu survei melibatkan mahasiswa sarjana non-medis (Saefi dkk,, 2020a), sementara survei lainnya hanya membatasi cakupannya pada topik jarak sosial (Yanti dkk., 2020). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan 1) untuk mengevaluasi pengetahuan, sikap, dan praktik mahasiswa kedokteran Indonesia terhadap COVID-19 dan 2) untuk menganalisis pengaruh demografi responden terhadap skor KAP mereka.
g. Theoretical Gap (Celah Teoretis)
Gap ini terjadi ketika ada kekurangan atau ketidaksempurnaan dalam teori yang ada, atau kurangnya teori yang dapat menjelaskan fenomena tertentu secara memadai.
Contoh: Dalam upaya memahami perkembangan penyakit Alzheimer, penelitian terdahulu telah berfokus pada peran protein beta-amiloid dan pembentukan plak amiloid di otak (1,2). Teori molekuler yang dominan saat ini menyatakan bahwa akumulasi plak amilodi merupakan pemicu utama terjadinya kerusakan dan kematian sel saraf dalam Alzheimer (3,4). Namun, masih terdapat theoritical gap dalam menjelaskan bagaimana proses akumulasi plak amiloid berinteraksi dengan fakto-fakto lain seperti inflamasi, stres oksidatif, dan perubaha epigenetik dalam memicu perkembangan penyakit (5,6). untuk mengatasi gap teoritis ini, penelitian ini mengembangkan model komputasi multi-skala yang menggabungkan dimanika molekuler protein amiloid dengan simulasi jaringan saraf dan respons selulur (7).
Mantap penjelasannya